Tuesday, April 4, 2017

Hutan Wakaf, Sebuah Insiatif Dari Generasi Muda Aceh

sumber foto : liza-fathia.com
www.leuserlestari.com--“Liza, ayo bergabung dengan Komunitas Hutan Wakaf,” ajak Akmal Senja, seorang teman sudah lama saya kenal dan sangat peduli terhadap lingkungan. Kiprahnya dalam penyelamatan lingkungan sudah tidak diragukan lagi. Tulisan-tulisan tentang penyelamatan lingkungan dan argumentasi tentang kerusakan hutan serta kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian alam ia tuangkan dalam blog Hutan Tersisa. Sebuah buku yang berjudul sama pun telah diterbitkan. Tabek untuk bang Akmal.

Melalui diskusi ringan dengannya lewat Facebook, saya belajar banyak hal tentang lingkungan. Bahkan, tidak jarang jika hendak menulis sebuah tulisan yang berhubungan dengan hutan dan lingkungan, saya kerap meminta saran darinya. Contohnya saja tulisan tentang Pencemaran Merkuri di Tambang Emas Geumpang – Mane – Tangse.

Ajakan tersebut tidak langsung saya iyakan. Saya masih belum paham dengan hutan wakaf yang ia maksud. Memang, istilah wakaf sudah tidak asing lagi di telinga. Ia memiliki makna memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat untuk masyarakat banyak. Lantas apakah hutan wakaf ini bermakna sama dengan wakaf pada umumnya? Konsep yang ditawarkan seperti apa?

Penasaran, saya pun mengunjungi situs hutan-tersisa.org milik bang Akmal. Blog sederhana yang telah bermetamorfosis menjadi sebuah situs yang sangat menarik dan menjadi referensi banyak pihak khususnya yang berhubungan dengan lingkungan. Saya pun mencoba menelaah visi dan misi komunitas ini.

Hutan wakaf adalah inisiatif konservasi berbasis wakaf. Sebuah inisiatif yang dimulai sejak tahun 2012 yang awalnya hanya berupa tim kecil dengan 4 orang anggota dan sekarang telah menjadi sebuah grup atau komunitas.” Jelas bang Akmal pada sebuah tulisan di blognya.

Konservasi tersebut dimulai dengan membeli lahan kritis yang diperuntukkan untuk membangun hutan yang berfungsi secara ekologis, baik sebagai sumber mata air maupun penyerap karbon. Selain itu, pada hutan wakaf tersebut diupayakan dapat menyediakan buah-buahan dan tanaman obat, pepohonan tempat bersarang burung, lebah madu, primata, dan beragam spesies lainnya, dan bahkan kayu untuk dijadikan keranda saat seseorang meninggal.

“Karena statusnya wakaf, maka lahan tersebut disertifikatkan atas nama semua orang yang telah menyumbang.”

Menurut lelaki yang memiliki nama asli Afrizal Akmal itu, ancaman terhadap hutan selama ini adalah konversi langsung untuk pembuatan pemukiman, jalan, perkebunan besar, dan lainnya. Hektaran hutan yang dikelola negara sewaktu-waktu bisa saja dikonversikan oleh rezim yang berkuasa. Apalagi hanya sebidang lahan yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat. Walaupun negara sebenarnya melarang mengkonversikan lahan-lahan tertentu, tetapi tidak ada jaminan aturan tersebut akan tetap bertahan.

“Rezim berikutnya bisa saja mengubah aturan yang ada.”

Oleh karena itu, kehadiran hutan wakaf setidaknya dapat sedikit membendung ketamakan para penguasa untuk mengalihfungsikan hutan.

Fokus hutan wakaf ini adalah lahan kritis dan lahan potensial. Lahan kritis yang dibiarkan tanpa adanya perbaikan, maka secara ekologi, hidrologi, ataupun ekonomi lahan tersebut sama sekali tidak bermanfaat. Pun demikian dengan lahan potensial. Namun, jika lahan tersebut dikelola dengan baik tentu akan memiliki nilai yang sangat bermanfaat untuk lingkungan dan ekonomi masyarakat.

Hutan wakaf adalah salah satu tawaran dalam mencermati dinamika pengelolaan hutan yang selama ini masih didasarkan pada pendekatan sekularistik dan ateistik. Hutan wakaf menjadi sebuah pertimbangan terhadap ancaman krisis lingkungan yang terus meningkat terutama sebagai dampak dari deforestasi yang tidak terkendali. Lewat hutan wakaf ini diharapkan generasi masa depan masih bisa merasakan keindahan hutan dan sumber daya di dalamnya.”

Baca Selanjutnya di Blog Kak Liza

Post a Comment

Start typing and press Enter to search